JILBAB PANJANG KOK DILARANG . . . ! !

Tolak Larangan Mengenakan Jilbab Panjang
Rubrik: Opini Pembaca | Kontributor: Rusmini Bintis - 08/04/13 | 21:08 | 28 Jumada al-Ula 1434 H
dakwatuna.com - Bibit Waluyo mengeluarkan peraturan gubernur (pergub)
kepada Rumah Sakit se-Jawa Tengah tentang larangan menggunakan jilbab
panjang. Peraturan tersebut tentu meresahkan masyarakat muslim.
Sebagai orang nomor 1 di Jawa Tengah, Didik Waluyo tidak berorientasi
pada UU No. 32 Tahun 2004 pasal 13 ayat 1 yang berbunyi bahwa segala
peraturan daerah harus berimplikasi pada ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat.
Larangan menggunakan jilbab panjang
tersebut sampai pada Ketua MUI Solo, Prof. Dr. dr. KH. Zaenal Arifin
Adnan yang menerima pengaduan sejumlah karyawan muslimah RS di Solo.
Peraturan gubernur tersebut menyangkut hukum SARA. Sesuai dengan UU RI
1945 pasal 28E ayat 1 tertera “setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya”. Mengenakan jilbab adalah bagian dari
perintah agama Islam. Melarang menggunakan jilbab sama saja dengan tidak
menganggap Islam ada di Indonesia.
Sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, Indonesia layak menjadi barometer gaya hidup
umat Islam. Berdasarkan penelitian The Pew Forum on Religion &
Public Life pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan pertama dengan
penduduk yang menganut agama Islam paling besar, yaitu 12,7% dari total
muslim dunia. Oleh karena itu, larangan menggunakan jilbab di Indonesia
merupakan kebijakan yang impossible dapat diterima oleh masyarakat. Hal
ini merupakan sikap anti Islam dan penindasan Islam se dunia.
Kasus
pelarangan menggunakan jilbab oleh pejabat publik, tidak hanya
menghantui warga Jawa Tengah, melainkan juga di daerah lain. Februari
2012 yang lalu, DPRD Surabaya menerima laporan dari beberapa karyawan
dan karyawati di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik
Komputer (Stikom) yang mengadu atas larangan mengenakan busana muslim
(jilbab) di sekitar kampus. Selain itu, pada tahun yang sama, di Cirebon
sekolah Geeta International School juga melarang siswanya menggunakan
jilbab. (Republika.co.id)
Berbagai kejadian demi kejadian pelarangan
menggunakan jilbab juga dialami oleh penduduk muslim di luar negeri.
Tahun 1981, pemerintah Tunisia meratifikasi UU No. 108 yang melarang
wanita muslimah menggunakan Jilbab di lembaga-lembaga pemerintahan.
Menteri Urusan Agama Tunisia, Abu Bakar Akhzouri, bahkan mengeluarkan
pernyataan bahwa jilbab tidak sesuai dengan warisan budaya Tunisia.
Hingga tahun 2006, di sekolah dan kampus dilarang menggunakan jilbab.
Tidak hanya itu, di Turki, Jerman, Prancis, Inggris, Mesir, Belanda,
Nigeria, Swedia, Spanyol, Maroko, Amerika, Kanada dan Rusia juga
mengalami nasib yang sama. Pemerintah negara- negara tersebut anti
jilbab. Baik di lembaga pemerintah, rumah sakit, sekolah, kampus hingga
di lapangan bola tidak diperkenankan menggunakan jilbab. Karena jilbab
dianggap simbol penindasan terhadap kaum perempuan. Jilbab menjadi
fenomena asing bagi orang- orang yang memusuhi Islam secara tidak
langsung.
Komite PBB berafiliasi pada CEDAW yang turut campur tangan
perihal eksistensi jilbab bagi penduduk muslim. Organisasi tingkat
Internasional tersebut mengaku prihatin atas kerugian apabila
menjalankan ajaran agama, termasuk jumlah perempuan Muslim yang
dikeluarkan dari sekolah dan universitas karena memakai jilbab. Larangan
menggunakan jilbab menjadi permasalahan yang mendunia, alasan yang
melatarbelakangi pelarangan tersebut adalah paham feminisme, kesetaraan
gender dan dianggap diskriminatif terhadap perempuan.
Anehnya, jika
penduduk muslim merasa hak asasinya diabaikan, mengapa justru mereka
merasa ditindas dengan tidak diperbolehkan menggunakan jilbab. Bukankah
saat hak asasi itu diberikan seharusnya mereka merasa gembira? Dapat
disimpulkan bahwa alasan oknum yang anti jilbab tidak rasional dalam
kaca mata kemanusiaan.
Naluriah manusia untuk dapat menjalankan
perintah agama yang dipercayanya secara keseluruhan. Walaupun terkadang
menurut sebagian orang yang melihatnya dalam menjalankan perintah agama
adalah sebuah penindasan, namun tidak bagi muslim yang paham dengan
manfaat menggunakan jilbab.
Jilbab bermanfaat untuk melindungi
perempuan dari gangguan dan agar mudah dikenal. Karena alamiah apabila
seorang laki-laki terangsang melihat perempuan yang menggunakan pakaian
seksi, sehingga Islam mengajarkan agar tubuh perempuan ditutupi agar
tidak diganggu. Jilbab juga bermanfaat agar antara muslim yang satu
dengan muslim yang lain mudah mengenal. Walaupun jarak tinggal berjauhan
antara kutub utara dan kutub selatan, saat mereka berjumpa mereka akan
merasakan persaudaraan sesama muslim. Aqidah (kepercayaan) mereka
mengeratkan jiwa mereka untuk saling menyapa dan mengenal lebih dekat.
Melawan Hukum Alam
Dalih yang diungkapkan pihak –pihak yang melarang menggunakan jilbab
beracuan pada hal yang umum, yaitu hak asasi manusia. Menutupi tubuh
perempuan bagi mereka adalah sebuah penindasan, mengekang perempuan dan
merendahkan harkat perempuan. Mereka meninjau dari sisi penyamaan
kedudukan laki- laki dan perempuan. Laki- laki bebas berbusana,
perempuan juga. Laki-laki bebas berprofesi apa saja, perempuan juga.
Lalu dapatkah mereka menyamakan agar laki-laki bisa hamil dan melahirkan
sebagaimana kodrat perempuan?
Dalam perspektif gender, tidak ada
hubungan antara larangan menggunakan jilbab dengan kodrat perempuan.
Sebagaimana laki-laki bebas berbusana, demikian pula perempuan. Jika
para perempuan yang ingin membuka tubuhnya diperbolehkan oleh
pemerintah, lalu mengapa yang ingin menutupinya dilarang. Bukankah
keduanya merupakan hak asasi manusia?
Para stakeholders pembuat
kebijakan publik harus cerdas memilah antara kebijakan yang memberi
manfaat atau yang berdampak buruk bagi masyarakat. Degradasi moral anak
bangsa justru semakin membaik dengan semakin banyaknya remaja putri yang
menggunakan jilbab. Sejalan dengan data yang dirilis okezone.com, Ketua
Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane menyatakan penyebab
utama pemerkosaan di Indonesia adalah pornografi.
Hal yang sama
juga diungkapkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID)
Sumsel, Siti Romlah mengatakan sepanjang tahun 2012 tingkat pemerkosaan
terhadap anak meningkat 50% dibandingkan tahun 2011. Undang-undang No
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak belum tersosialisasi dan
ditegakkan. Di dalam UU tersebut jelas tercantum bahwa sanksi
pelanggaran pemerkosaan bisa mencapai lima tahun penjara dan denda
maksimal Rp 200an juta. Namun pada kenyataannya panggang masih jauh dari
api.
Menelisik hasil penelitian Indonesia Police Watch (IPW), Bibit
Waluyo patut berbangga hati kepada warga Jateng yang menggunakan jilbab
karena secara tidak langsung, merekalah pahlawan remaja putri. Para
jilbabers adalah suri tauladan untuk menekan angka pemerkosaan dengan
tidak berpenampilan secara pornografi maupun pornoaksi. Bukankah hal
yang timpamg jika pahlawan justru diserang dengan larangan menggunakan
jilbab. Sedangkan di luar sana, pelaku pornografi bebas melenggang
seenak syahwat tanpa peduli nasib anak bangsa.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/04/30793/tolak-larangan-mengenakan-jilbab-panjang/#ixzz2PvQvK4vd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar